watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Cerita sexs
Naksir rita dapat ibunya




Saat itu aku Ronny masih kuliah dan saya
mempunyai teman karib namanya Mona, dari
Sumatera, dia menumpang di rumah tantenya.
Kebetulan antara saya dan Mona mempunyai hoby
yang sama, naik gunung, lintas alam, atletik, lempar
lembing. Saya sering bertandang ke rumahnya,
makin lama makin sering. Karena saya juga naksir
sama Rita, adik sepupu Mona atau anak tantenya.
Walau saya sudah menjadi akrab dengan
keluarganya, tapi Rita tak kunjung kupacari.
Setelah selesai SMA Mona melanjutkan studi di Kota
lain, tapi aku mencoba untuk bertandang ke rumah
Rita, tapi jarang ketemu.
Namun perjalanan waktu menentukan lain bagi Rita,
ayahnya yang wakil rakyat itu meninggal. Sekarang
ini ibunya mencari nafkah sendiri dengan
memegang beberapa perusahaannya yang
memang sudah dirintis cukup lama, sebelum terpilih
menjadi wakil rakyat. Harapanku memacari Rita
tetap ada di dada, walaupun saat aku berkunjung,
justru bu Ita (ibunya Rita/tantenya Mona) yang
sering menemuiku. karena Rita ada kesibukan di
Jakarta, sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
sekolah presenter di sebuah stasion teve swasta di
sana. Tapi sebenarnya kalau mau jujur Rita masih
kalah dengan ibunya. Bu Ita lebih cantik.,kulitnya
lebih putih bersih, dewasa dan tenang
pembawaannya. Sementara Rita agak sawo
matang, nurun ayahnya kali? Seandainya Rita seperti
ibunya: tenang pembawaannya, keibuan dan penuh
perhatian, baik juga.
Sekarang, di rumah yang cukup mewah itu hanya
ada bu Ita dan seorang pembantu. Mona sudah
tidak di situ, sementara Rita sekolah di ibukota,
paling-paling seminggu pulang. Akhirnya saya di
suruh bu Ita untuk membantu sebagai karyawan
tidak tetap mengelola perusahaannya. Untungnya
saya memiliki kemampuan di bidang komputer dan
manajemennya, yang saya tekuni sejak SMA.
Setelah mengetahui manajemen perusahaan bu Ita
lalu saya menawari program akuntansi dan
keuangan dengan komputer, dan bu Ita setuju
bahkan senang. Merencanakan kalkulasi biaya
proyek yang ditangani perusahaannya, dsb. Saya
menyukai pekerjaan ini. Yang jelas bisa menambah
uang saku saya, bisa untuk membantu kuliah, yang
saat itu baru semester dua. Bu Ita memberi honor
lebih dari cukup menurut ukuran saya. Pegawai bu
Ita ada tiga cewek di kantor, tambah saya, belum
termasuk di lapangan. Saya sering bekerja setelah
kuliah, sore hingga malam hari, datang menjelang
pegawai yang lain pulang. Itupun kalau ada proyek
yang harus dikerjakan. Part time begitu. Bagi saya
ini hanya kerja sambilan tapi bisa menambah
pengalaman.
Karena hubungan kerja antara majikan dan pegawai,
hubungan saya dengan bu Ita semakin akrab.
Semula sih biasa saja, lambat-laun seperti sahabat,
curhat, dan sebagainya. Aku sering dinasehati,
bahkan saking akrabnya, bercanda, saya sering
pegang tangannya, mencium tangan, tentu saja
tanpa diketahui rekan kerja yang lain. Dan rupanya
dia senang. Tapi aku tetap menjaga kesopanan.
Pengalaman ini yang mendebarkan jantungku,
betapapun dan siapapun bu Ita, dia mampu
menggetarkan dadaku. Walaupun sudah cukup
umur wanita ini tetap jelita. Saya kira siapapun
orangnya pasti mengatakan orang ini cantik bahkan
cantik sekali. Dasar pandai merawat tubuh, karena
ada dana untuk itu, rajin fitnees, di rumah disediakan
peralatannya. Kalau sedang fitnees memakai pakaian
fitnees ketat sangat sedap dipandang. Ini sudah saya
ketahui sejak saya SMA dulu, tapi karena saya
kepingin mendekati Rita, hal itu saya kesampingkan.
Data-data pribadi bu Ita saya tahu betul karena
sering mengerjakan biodata berkaitan dengan
proyek-proyeknya. Tingginya 161 cm, usianya saat
kisah ini terjadi 37 tahun, lima bulan dan berat
badannya 52 kg. Cukup ideal.
Pada suatu hari saya lembur, karena ada pekerjaan
proyek dan paginya harus didaftarkan untuk
diikutkan tender. Pukul 22.00 pekerjaan belum
selesai, tapi aku agak terhibur bu Ita mau
menemaniku, sambil mengecek pekerjaanku. Dia
cukup teliti. Kalau kerja lembur begini ia malah
sering bercanda. Bahkan kalau minumanku habis dia
tidak segan-segan yang menuang kembali, aku
malah menjadi kikuk. Dia tak enggan pegang
tanganku, mencubit, namun aku tak berani
membalas. Apalagi bila sedang mencubit dadaku
aku sama sekali tidak akan membalas. Dan yang
cukup surprise tanpa ragu memijit-pijit bahuku dari
belakang.
“Capek ya..? Saya pijit, nih”, katanya.
Aku hanya tersenyum, dalam hati senang juga,
dipijit janda cantik. Apalagi yang kurasakan dadanya,
pasti teteknya menyenggol kepalaku bagian
belakang, saya rasakan nyaman juga. Lama-lama
pipiku sengaja saya pepetkan dengan tangannya
yang mulus, dia diam saja. Dia membalas
membelai-belai daguku, yang tanpa rambut itu. Aku
menjadi cukup senang. Hampir pukul 23.00 baru
selesai semua pekerjaan, saya membersihkan
kantor dan masih dibantu bu Ita. Wah wanita ini
betul-betul seorang pekerja keras, gumanku dalam
hati.
Saya bersiap-siap untuk pulang, tapi dibuatkan kopi,
jadi kembali minum.
“Kamu sudah punya pacar Ron?”
“Belum Bu”, jawabku
“Masa.., pasti kamu sudah punya. Cewek mana
yang tak mau dengan cowok ganteng”, katanya
“Belum Bu, sungguh kok”, kataku lagi. Kami duduk
bersebelahan di sofa ruang tengah, dengan
penerangan yang agak redup. Entah siapa yang
mendahului, kami berdua saling berpegangan
tangan saling meremas lembut. Yang jelas semula
saya sengaja menyenggol tangannya…
Mungkin karena terbawa suasana malam yang
dingin dan suasana ruangan yang syahdu, dan
terdengar suara mobil melintas di jalan raya serta
sayup-sayup suara binatang malam, saya dan bu
Ita hanyut terbawa oleh suasana romantis. Bu Ita
yang malam itu memakai gaun warna hitam dan
sedikit motif bunga ungu. Sangat kontras dengan
warna kulitnya yang putih bersih. Wanita
pengusaha ini makin mendekatkan tubuhnya ke
arahku. Dalam kondisi yang baru aku alami ini aku
menjadi sangat kikuk dan canggung, tapi anehnya
nafasku makin memburu, kejar-kejaran dan
bergelora seperti gemuruh ombak di Pelabuhan
Ratu. Saya menjadi bergemetaran, dan tak mampu
berbuat banyak, walau tanganku tetap memegang
tangannya.
“Dingin ya Ron..?!”, katanya sendu.
Sementara tangan kiriku ditarik dan mendekap
lengan kirinya yang memang tanpa lengan baju itu.
“Ya, Bu dingin sekali”, jawabku.
Terasa dingin, sementara tangannya juga
merangkul pinggangku. Bau wewanginan semerbak
di sekitar, aku duduk, menambah suasana romantis
“Kalau ketahuan Darti (pembantunya), gimana Bu?”,
kataku gemetar.
“Darti tidak akan masuk ke sini, pintunya terkunci”,
katanya.
Saya menjadi aman. Lalu aku mencoba mengecup
kening wanita lincah ini, dia tersenyum lalu dia
menengadahkan wajahnya. Tanpa diajari atau
diperintah oleh siapapun, kukecup bibir indahnya.
Dia menyambut dengan senyuman, kami saling
berciuman bibir saling melumat bibir, lidah kami
bertemu berburu mencari kenikmatan di setiap
sudut-sudut bibir dan rongga mulut masing-
masing. Tangankupun mulai meraba-raba tubuh
sintal bu Ita, diapun tidak kalah meraba-raba
punggungku dan bahkan menyusup dibalik kaosku.
Aku menjadi semakin terangsang dalam permainan
yang indah ini.
Sejenak jeda, kami saling berpandangan dia
tersenyum manis bahkan amat manis, dibanding
waktu-waktu sebelumnya. Kami berangkulan
kembali, seolah-olah dua sejoli yang sedang mabuk
asmara sedang bermesraan, padahal antara majikan
dan pegawainya. Dia mulai mencumi leherku dan
menggigit lembut semantara tanganku mulai
meraba-raba tubuhnya, pertama pantatnya,
kemudian menjalar ke pinggulnya.
“Sejak kamu kesini dengan Mona dulu, saya sudah
berpikir: “Ganteng banget ini anak!”", katanya
setengah berbisik.
“Ah ibu ada-ada saja”, kataku mengelak walaupun
saya senang mendapat sanjungan.
“Saya tidak merayu, sungguh”, katanya lagi.
Kami makin merangsek bercumbu, birahiku makin
menanjak naik, dadaku semakin bergetar, demikian
juga dada bu Ita. Diapun nampak bergetaran dan
suaranya agak parau.
Kemudian saya beranjak, berdiri dan menarik
tangan bu Ita yang supaya ikut berdiri. Dalam posisi
ini dia saya dekap dengan hangatnya. Hasrat
kelakianku menjadi bertambah bangkit dan terasa
seakan membelah celana yang saya pakai. Lalu saya
bimbing dia ke kamarnya, bagai kerbau dicocok
hidungnya bu Ita menurut saja. Kami berbaring
bersama di spring bed, kembali kami bergumul
saling berciuman dan becumbu.
“Gimana kalau saya tidur di sini saja, Bu”, pintaku
lirih.
Ia berpikir sejenak lalu mengangguk sambil
tersenyum. Kemudian dia beranjak menuju lemari
dan mengambil pakaian sambil menyodorkan
kepada saya.
“Ini pakai punyaku”, dia menyodorkan pakaian tidur.
Lalu aku melorot celana panjangku dan kaos
kemudian memakai kimononya.
Aku menjadi terlena. Dalam dekapannya aku
tertidur. Baru sekitar setengah jam saya terbangun
lagi. Dalam kondisi begini, jelas aku susah tidur.
Udara terasa dingin, saya mendekapnya makin
kencang. Dia menyusupkan kaki kanannya di
selakangan saya. Penisku makin bergerak-gerak,
sementara cumbuan berlangsung, penisku semakin
menjadi-jadi kencangnya, yang sesungguhnya
sejak tadi di sofa.
Aku berpikir kalau sudah begini bagaimana? Apakah
saya lanjutkan atau diam saja? Lama aku berfikir
untuk mengatakan tidak! Tapi tidak bisa ditutupi
bahwa hasrat, nafsu birahiku kuat sekali yang
mendorong melonjak-lonjak dalam dadaku
bercampur aduk sampai kepada ubun-ubunku.
Walaupun aku diamkan beberapa saat, tetap saja
kejaran libido yang terasa lebih kuat. Memang saya
sadar, wanita yang ada didekapanku adalah
majikanku, tantenya Mona, mamanya Rita, tapi
sebagai pria normal dan dewasa aku juga
merasakan kenikmatan bibir dan rasa perasaan bu
Ita sebagai wanita yang sintal, cantik dan
mengagumkan. Sedikitnya aku sudah merasakan
kehangatannya tubuhnya dan perasaannya, meski
pengalaman ini baru pertama kali kualami.
Aku tak kuasa berkeputusan, dalam kondisi seperti
ini aku semakin bergemetaran, antara mengelak dan
hasrat yang menggebu-gebu. Aku perhatikan
wajahnya di bawah sorot lampu bed, sengaja saya
lihat lama dari dekat, wajahnya memancarkan
penyerahan sebagai wanita, di depan lelaki dewasa.
Pelan-pelan tanganku menyusup di balik gaunnya,
meraba pahanya dia mengeliat pelan, saya tidak
tahu apakah dia tidur atau pura-pura tidur. Aku cium
lembut bibirnya, dan dia menyambutnya. Berarti dia
tidak tidur. Ku singkap gaun tidurnya kemudian
kulepas, dia memakai beha warna putih dan
cedenya juga putih. Aku menjadi tambah takjub
melihat kemolekan tubuh bu Ita, putih dan indah
banget. Ku raba-raba tubuhnya, dia mengeliat geli
dan membuka matanya yang sayu. Jari-jari
lentiknya menyusup ke balik baju tidur yang kupakai
dan menarik talinya pada bagian perutku, lalu
pakaianku terlepas. Kini akupun hanya pakai cede
saja.
“Kamu ganteng banget, Ron, tinggi badanmu
berapa, ya?”, bisiknya. Saya tersenyum senang.
“Makasih. Ada 171. Bu Ita juga cantik sekali”,
mendengar jawabanku, dia hanya tersenyum.
Aku berusaha membuka behanya dengan
membuka kaitannya di punggungnya, kemudian
keplorotkan cedenya sehingga aku semakin takjub
melihat keindahan alam yang tiada tara ini. Hal ini
menjadikan dadaku semakin bergetar. Betapa tidak?!
Aku berhadapan langsung dengan wanita tanpa
busana yang bertubuh indah, yang selama ini hanya
kulihat lewat gambar-gambar orang asing saja. Kini
langsung mengamati dari dekat sekali bahkan bisa
meraba-raba. Wanita yang selama ini saya lihat
berkulit putih bersih hanya pada bagian wajah,
bagian kaki dan bagian lengan ini, sekarang tampak
seluruhnya tiada yang tersisa. Menakjubkan!
Darahku semakin mendidih, melihat pemandangan
nan indah itu. Di saat saya masih bengong, pelan-
pelan aku melorot cedeku, saya dan bu Ita sama-
sama tak berpakaian. Penisku benar-benar maksimal
kencangnya. Kami berdua berdekapan, saling
meraba dan membelai. Kaki kami berdua saling
menyilang yang berpangkal di selakangan, saling
mengesek. Penisku yang kencang ikut membelai
paha indah bu Ita. Sementara itu ia membelai-belai
lembut penisku dengan tangan halusnya, yang
membawa efek nikmat luar biasa.
generasi
Tanganku membela-belai pahanya kemudian
kucium mulai dari lutut merambat pelan ke pangkal
pahanya. Ia mendesah lembut. Dadaku makin
bergetaran karena kami saling mencumbu, aku
meraba selakangannya, ada rerumputan di sana,
tidak terlalu lebat jadi enak dipandang. Dia
mengerang lembut, ketika jemariku menyentuh
bibir vaginanya. Mulutku menciumi payudaranya
dengan lembut dan mengedot puntingnya yang
berwarna coklat kemerah-merahan, lalu
membenamkan wajahku di antara kedua susunya.
Sementara tangan kiriku meremas lembut teteknya.
Desisan dan erangan lembut muncul dari mulut
indahnya. Aku semakin bernafsu walau tetap
gemetaran. Tanganku mulai aktif memainkan
selakangannya, yang ternyata basah itu. Saya
penasaran, lalu kubuka kedua pahanya, kemudian
kusingkap rerumputan di sekitar kewanitaannya.
Bagian-bagian warna pink itu aku belai-belai dengan
jemariku. Klitorisnya, ku mainkan, menyenangkan
sekali. Bu Ita mengerang lembut sambil
menggerakkan pelan kaki-kakinya. Lalu jariku
kumasukkan keterowongan pink tersebut dan
menari-nari di dalamnya. Dia semakin
bergelincangan. Kelanjutannya ia menarikku.
“Ayo Ron”aku tak tahan”, katanya berbisik
Dan merangkulku ketat sekali, sehingga bagian yang
menonjol di dadanya tertekan oleh dadaku.
Aku mulai menindih tubuh sintal itu, sambil
bertumpu pada kedua siku-siku tanganku, supaya ia
tidak berat menompang tubuhku. Sementara itu
senjataku terjepit dengan kedua pahanya. Dalam
posisi begini saja enaknya sudah bukan main,
getaran jantungku makin tidak teratur. Sambil
menciumi bibirnya, dan lehernya, tanganku
meremas-remas lembut susunya. Penisku
menggesek-gesek sekalangannya, ke arah atas
(perut), kemudian turun berulang-ulang Tak lama
kemudian kakinya direnggangkan, lalu pinggul kami
berdua beringsut, untuk mengambil posisi tepat
antara senjataku dengan lubang kewanitaannya.
Beberapa kali kami beringsut, tapi belum juga
sampai kepada sasarannya. Penisku belum juga
masuk ke vaginanya
“Alot juga”, bisikku. Bu Ita yang masih di bawahku
tersenyum.
“Sabar-sabar”, katanya. Lalu tangannya memegang
penisku dan menuntun memasukkan ke arah
kewanitaannya.
“Sudah ditekan… pelan-pelan saja”, katanya. Akupun
menuruti saja, menekan pinggulku…
“Blesss”, masuklah penisku, agak seret, tapi tanpa
hambatan. Ternyata mudah! Pada saat masuk itulah,
rasa nikmatnya amat sangat. Seolah aku baru
memasuki dunia lain, dunia yang sama sekali baru
bagiku. Aku memang pernah melihat film orang
beginian, tetapi untuk melakukan sendiri baru kali ini.
Ternyata rasanya enak, nyaman, mengasyikkan.
Wonderful! Betapa tidak, dalam usiaku yang ke 23,
baru merasakan kehangatan dan kenikmatan tubuh
wanita.
Gerakanku mengikuti naluri lelakiku, mulai naik-
turun, naik-turun, kadang cepat kadang lambat,
sambil memandang ekspresi wajah bu Ita yang
merem-melek, mulutnya sedikit terbuka, sambil
keluar suara tak disengaja desah-mendesah.
Merasakan kenikmatannya sendiri.
“Ah… uh… eh… hem”"
Ketika aku menekankan pinggulku, dia menyambut
dengan menekan pula ke atas, supaya penisku
masuk menekan sampai ke dasar vaginanya.
Getaran-getaran perasaan menyatu dengan leguhan
dan rasa kenikmatan berjalan merangkak sampai
berlari-lari kecil berkejar-kejaran. Di tengah peristiwa
itu bu Ita berbisik
“Kamu jangan terlalu keburu nafsu, nanti kamu
cepat capek, santai saja, pelan-pelan, ikuti
iramanya”, ketika saya mulai menggenjot dengan
semangatnya.
“Ya Bu, maaf”, akupun menuruti perintahnya.
Lalu aku hanya menggerakkan pinggulku ala
kadarnya mengikuti gerakan pinggulnya yang hanya
sesekali dilakukan. Ternyata model ini lebih nyaman
dan mudah dinikmati. Sesekali kedua kakinya
diangkat dan sampai ditaruh di atas bahuku, atau
kemudian dibuka lebar-lebar, bahkan kadang
dirapatkan, sehingga terasa penisku terjepit ketat dan
semakin seret. Gerak apapun yang kami lakukan
berdua membawa efek kenikmatan tersendiri.
Setelah lebih dari sepuluh menit , aku menikmati
tubuhnya dari atas, dia membuat suatu gerakan dan
aku tahu maksudnya, dia minta di atas.
Aku tidur terlentang, kemudian bu Ita mengambil
posisi tengkurap di atasku sambil menyatukan alat
vital kami berdua. Bersetubuhlah kami kembali.Ia
memasukkan penisku rasanya ketat sekali
menghujam sampai dalam. Sampai beberapa saat
bu Ita menggerakkan pinggulnya, payudaranya
bergelantungan nampak indah sekali, kadang
menyapu wajahku. Aku meremas kuat-kuat
bongkahan pantatnya yang bergoyang-goyang.
Payudaranya disodorkan kemulutku, langsung
kudot. Gerakan wanita berambut sebahu ini makin
mempesona di atas tubuhku. Kadang seperti orang
berenang, atau menari yang berpusat pada gerakan
pinggulnya yang aduhai. Bayang-bayang gerakan
itu nampak indah di cermin sebelah ranjang. Tubuh
putih nan indah perempuan setengah baya menaiki
tubuh pemuda agak coklat kekuning-kuningan.
Benar-benar lintas generasi!
Adegan ini berlangsung lebih dari lima belas menit,
kian lama kian kencang dan cepat, gerakannya.
Nafasnya kian tidak teratur, sedikit liar. Kayak
mengejar setoran saja. Tanganku mempererat
rangulanku pada pantat dan pinggulnya, sementara
mulutku sesekali mengulum punting susunya.
Rasanya enak sekali. Setelah kerja keras majikanku
itu mendesah sejadi-jadinya”
“Ah… uh, eh… aku, ke.. luaar..Ron..”, rupanya ia
orgasme.
Puncak kenikmatannya diraihnya di atas tubuhku,
nafasnya berkejar-kejaran, terengah-engah
merasakan keenakan yang mencapai klimaknya.
Nafasnya berkejar-kejaran, gerakannya lambat laun
berangsur melemah, akhirnya diam. Ia menjadi
lemas di atasku, sambil mengatur nafasnya kembali.
Aku mengusap-usap punggung mulusnya. Sesekali
ia menggerak-gerakkan pinggulnya pelan, pelan
sekali, merasakan sisa-sisa puncak kenikmatannya.
Beberapa menit dia masih menindih saya.
Setelah pulih tenaganya, dia tidur terlentang kembali,
siap untuk saya tembak lagi. Kini giliran saya
menindihnya, dan mulai mengerjakan kegiatan
seperti tadi. Gerakan ku pelan juga, dia merangkul
aku. Naik turun, keluar masuk. Saat masuk itulah
rasa nikmat luar biasa, apalagi dia bisa menjepit-
jepit, sampai beberapa kali. Sungguh aku menikmati
seluruhnya tubuh bu Ita. Ruaar biasa! Tiba-tiba suatu
dorongan tenaga yang kuat sampai diujung
senjataku, aliran darah, energi dan perasaan terpusat
di sana, yang menimbulkan kekuatan dahsyat tiada
tara. Energi itu menekan-nekan dan memenuhi
lorong-lorong rasa dan perasaan, saling memburu
dan kejar-kejaran. Didorong oleh gairah luar biasa,
menimbulkan efek gerakan makin keras dan kuat
menghimpit tubuh indah, yang mengimbangi
dengan gerakan gemulai mempesona. Akhirnya
tenaga yang menghentak-hentak itu keluar
membawa kenikmatan luar biasa”, suara tak
disengaja keluar dari mulut dua insan yang sedang
dilanda kenikmatan. Air maniku terasa keluar tanpa
kendali, menyemprot memenuhi lubang kenikmatan
milik bu Ita.
“Ahh… egh… egh… uhh”, suara kami bersaut-
sahutan.
Bibir indah itu kembali kulumat makin seru, diapun
makin merapatkan tubuhnya terutama pada bagian
bawah perutnya, kuat sekali. Menyatu semuanya,
“Aku” keluar Bu”, kataku terengah-engah.
“Aku juga Ron”, suaranya agak lemah.
“Lho keluar lagi, tadi kan sudah?! Kok bisa keluar
lagi?!”, tanyaku agak heran.
“Ya, bisa dua kali”, jawabnya sambil tersenyum
puas.
Kami berdua berkeringat, walau udara di luar dingin.
Rasanya cukup menguras tenaga, bagai habis naik
gunung saja, lempar lembing atau habis dari
perjalanan jauh, tapi saya masih bisa merasakan
sisa-sisa kenikmatan bersama. Selang beberapa
menit, setelah kenikmatan berangsur berkurang,
dan terasa lembek, saya mencabut senjataku dan
berbaring terlentang di sisinya sambil menghela
nafas panjang. Puas rasanya menikmati seluruh
kenikmatan tubuhnya. Perempuan punya bentuk
tubuh indah itupun terlihat puas, seakan terlepas dari
dahaganya, yang terlihat dari guratan senyumnya.
Saya lihat selakangannya, ada ceceran air maniku
putih kental meleleh di bibir vaginanya bahkan ada
yang di pahanya. Pengalaman malam itu sangat
menakjubkan, hingga sampai berapa kali aku
menaiki bu Ita, aku lupa. Yang jelas kami beradu
nafsu hampir sepanjang malam dan kurang tidur.
Keesokan harinya. Busa-busa sabun memenuhi
bathtub, aku dan bu Ita mandi bersama, kami saling
menyabun dan menggosok, seluruh sisi-sisi
tubuhnya kami telusuri, termasuk bagian yang
paling pribadi. Yang mengasyikkan juga ketika dia
menyabun penisku dan mengocok-kocok lembut.
Saya senang sekali dan sudah barang tentu
membawa efek nikmat.
“Saya heran barang ini semalaman kok tegak terus,
kayak tugu Monas, besar lagi. Ukuran jumbo lagi?!”,
katanya sambil menimang-nimang tititku.
“Kan Ibu yang bikin begini?!”, jawabku. Kami
tersenyum bersama.
Sehabis mandi, kuintip lewat jendela kamar, Darti
sedang nyapu halaman depan, kalau aku keluar
rumah tidak mungkin, bisa ketahuan. Waktu baru
pukul setengah enam. Tetapi senjata ini belum juga
turun, tiba-tiba hasrat lelakiku kembali bangkit
kencang sekali. Kembali meletup-letup, jantung
berdetak makin kencang. Lagi-lagi aku mendekati
janda yang sudah berpakaian itu, dan kupeluk,
kuciumi. Saya agak membungkuk, karena aku lebih
tinggi. Bau wewangian semerbak disekujur
tubuhnya, rasanya lebih fresh, sehabis mandi. Lalu
ku lepas gaunnya, ku tanggalkan behanya dan
kuplorotkan cedenya. Kami berdua kembali berbugil
ria dan menuju tempat tidur. Kedua insan lelaki
perempuan ini saling bercumbu, mengulangi
kenikmatan semalam.
Ia terbaring dengan manisnya, pemandangan yang
indah paduan antara pinggul depan, pangkal paha,
dan rerumputan sedikit di tengah menutup samara-
samar huruf “V”, tanpa ada gumpalan lemaknya.
Aku buka dengan pelan kedua pahanya. Aku ciumi,
mulai dari lutut, kemudian merambat ke paha
mulusnya. Sementara tangannya mengurut-urut
lembut penisku. Tubuhku mulai bergetaran, lalu aku
membuka selakangannya, menyibakkan
rerumputan di sana. Aku ingin melihat secara jelas
barang miliknya. Jariku menyentuh benda yang
berwarna pink itu, mulai bagian atas membelai-
belainya dengan lembut, sesekali mencubit dan
membelai kembali. Bu Ita bergelincangan,
tangannya makin erat memegang tititku. Kemudian
jariku mulai masuk ke lorong, kemudian menari-nari
di sana, seperti malam tadi. Tapi bibir, dan
terowongan yang didominasi warna pink ini lebih
jelas, bagai bunga mawar yang merekah. Beberapa
saat aku melakukan permainan ini, dan menjadi
paham dan jelas betul struktur kewanitaan bu Ita,
yang menghebohkan semalam.
Gelora nafsu makin menggema dan menjalar
seantero tubuh kami, saling mencium dan
mencumbu, kian memanas dan berlari kejar-
kejaran. Seperti ombak laut mendesir-desir menerpa
pantai. Tiada kendali yang dapat mengekang dari
kami berdua. Apalagi ketika puncak kenikmatan
mulai nampak dan mendekat ketat. Sebuah kejutan,
tanpa aku duga sebelumnya penisku yang sejak tadi
di urut-urut kemudian dikulum dengan lembutnya.
Pertama dijilati kepalanya, lalu dimasukkan ke
rongga mulutnya. Rasanya saya diajak melayang ke
angkasa tinggi sekali menuju bulan. Aku menjadi
kelelahan. Sesi berikutnya dia mengambil posisi tidur
terlentang, sementara aku pasang kuda-kuda,
tengkurap yang bertumpu pada kedua tangan saya.
Saya mulai memasukkan penisku ke arah lubang
kewanitaan bu Ita yang tadi sudah saya “pelajari”
bagian-bagiannya secara seksama itu. Benda ini
memang rasanya tiada tara, ketika kumasukkan,
tidak hanya saya yang merasakan enaknya
penetrasi, tetapi juga bu Ita merasakan kenikmatan
yang luar biasa, terlihat dari ekpresi wajahnya, dan
desahan lembut dari mulutnya.
“Ah”, desahnya setiap aku menekan senjataku ke
arah selakangannya, sambil menekankan pula
pinggulnya ke arah tititku. Kami berdua mengulangi
mengarungi samodra birahi yang menakjubkan,
pagi itu.
Semuanya sudah selesai, aku keluar rumah sekitar
pukul setengah delapan, saat Darti mencuci di
belakang. Dalam perjalanan pulang aku termenung,
Betapa kejadian semalam dapat berlangsung begitu
cepat, tanpa liku-liku, tanpa terpikirkan sebelumnya.
Sebuah wisata seks yang tak terduga sebelumnya.
Kenikmatan yang kuraih, prosesnya mulus,
semulus paha bu Ita. Singkat, cepat dan mengalir
begitu saja, namun membawa kenikmatan yang
menghebohkan. Betapa aku bisa merasakan
kehangatan tubuh bu Ita secara utuh, orang yang
selama ini menjadi majikanku. Menyaksikan rona
wajah bu Ita yang memerah jambu, kepasrahannya
dalam ketelanjangannya, menunjukkan kedagaan
seorang wanita yang mebutuhkan belaian dan
kehangatan seorang pria.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, si
kumbang muda makin sering mendatangi bunga
untuk mengisap madu. Dan bunga itu masih segar
saja, bahkan rasanya makin segar menggairahkan.
Memang bunga itu masih mekar dan belum juga
layu, atau memang tidak mau layu.

Adult | GO HOME | Exit
1/1255
U-ON

inc Powered by Xtgem.com